Teungku Hasan di Tiro dan Pemikirannya
Baru beberapa tahun kemerdekaan diproklamasikan, perang saudara melanda Indonesia. Pemimpin tertinggi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, SM Kartosoewirjo, menolak mengakui keberadaan RI. Sementara Soekarno menuding Kartosoewirjo membentuk negara dalam negara.
Atas perintah PM Ali Sastroamidjojo yang nasionalis sekuler, tahun 1954 angkatan udara mulai melancarkan pengeboman secara membabi buta atas desa-desa yang dikuasai Tentara Islam Indonesia (TII). Pasukan dari pulau Jawa kemudian diterjunkan dari udara dan membakari rumah-rumah penduduk.
Ribuan penduduk tewas dan ribuan lainnya cedera. Isak tangis terdengar di sana-sini. Pada saat itulah seorang mahasiswa Indonesia asal Aceh yang belajar ilmu hukum di University of Colombia (AS) dan bekerja sebagai staf perwakilan Indonesia di PBB, New York, mengirim surat kepada PM Ali Sastroamidjojo.
New York, 1 September 1954
Kepada
Tuan Menteri Ali Sastroamidjojo
Di Jakarta
Dengan Hormat
Sampai hari ini sudah lebih setahun lamanya Tuan memegang kendali pemerintahan atas tanah air bangsa kita .... Tuan tidak mempergunakan kekuasaan yang telah diletakan di tangan Tuan itu untuk membawa kemakmuran, ketertiban, keamanan, keadilan dan persatuan di kalangan bangsa Indonesia. Sebaliknya Tuan telah dan sedang menyeret bangsa Indonesia ke lembah keruntuhan ekonomi dan politik, kemelaratan, perpecahan, dan perang saudara.
Belum pernah selama dunia berkembang, tidak walaupun di masa penjajahan, rakyat Indonesia dipaksa bunuh membunuh antara sesama saudaranya secara yang begitu meluas sekali sebagaimana sekarang sedang Tuan paksakan di Aceh, di Jawa Barat, di Jawa Tengah, di Sulawesi Selatan, di Sulawesi Tengah dan di Kalimantan.
...................................
Dan Tuan Mengatakan bahwa Tuan telah memperbuat semua ini atas nama persatuan nasional dan patriotisme. Rasanya tidak ada suatu contoh yang lebih tepat dari pepatah yang mengatakan bahwa patriotisme itu adalah tempat perlindungan yang terakhir bagi seorang penjahat.
Sampai hari ini sembilan tahun sesudah tercapainya kemerdekaan bangsa, sebagian besar bumi Indonesia masih terus di genangi darah dan air mata.... yang semuanya terjadi karena Tuan ingin melakukan pembunuhan terhadap lawan-lawan politik Tuan. Seluruh rakyat Indonesia menghendaki penghentian pertumpahan darah yang maha kejam ini.....
Persoalan yang di hadapi Indonesia bukan tidak bisa dipecahkan, tetapi Tuanlah yang mencoba membuatnya sukar. Sebenarnya jika Tuan mengambil keputusan buat menyelesaikan pertikaian politik ini dengan jalan semestinya, yakni perundingan, maka besok hari juga keamanan dan ketenteraman akan meliputi seluruh tanah air kita.
Oleh karena itu, demi kepentingan rakyat Indonesia, saya menganjurkan Tuan mengambil tindakan berikut :
1. Hentikan agresi terhadap rakyat Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan.
2. Lepaskan semua tawanan-tawanan politik dari Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan.
3. Berunding dengan Teungku Muhammad Daud Beureuh, SM Kartosoewirjo, Abdul Kahar Muzakar, dan Ibnu Hajar.
Jika sampai tanggal 20 September 1954, anjuran-anjuran ke arah penghentian pertumpahan darah ini tidak mendapat perhatian Tuan....saya dan putra-putri Indonesia yang setia, akan mengambil tindakan-tindakan........
Saya
Hasan Muhammad di Tiro
Saat itu Hasan Muhammad di Tiro, bukanlah sosok yang dikenal dikalangkan pemimpin Indonesia, ia hanyalah seorang mahasiswa hukum di Universitas Islam Yogyakarta, yang memperoleh beasiswa melanjutkan pendidikan ke AS tahun 1950.
Pada bagian akhir suratnya Hasan Muhammad di Tiro, mengancam akan membeberkan kebrutalan tersebut, dan “ Kami akan mengusahakan bantuan moral dan material bagi Republik Islam Indonesia dalam perjuangannya menghapus rezim teroris Indonesia.”
Kompas|Minggu 19 Oktober 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar