Rabu, 15 Februari 2012

Televisi dan Kemiskinan

Kami adalah sisa-sisa dari sistem sosial lama yang masih percaya pada penyelenggaraan kehidupan berdasarkan srawung - berhubungan langsung dalam hubungan darah daging. Hidup kami mungkin berkekurangan dan susah tetapi kami melihat dan menghayatinya tidak seperti dalam prespektif program program televisi, di mana orang kota hadir, tinggal bersama kami, lalu mendeskripsikan penderitaan kami secara visual.

Ada yang tidak di tangkap oleh sajian visual, yang memang di maksud untuk mengomodifikasikan kemiskinan menjadi komoditas hiburan, yakni kami punya daya hidup. Kami tidak merayakan kemiskinan, tetapi tahu ada nilai-nilai hidup yang tetap harus di jaga.

Tafsir kehidupan dari satu lingkungan sosial yang telah termanipulasi produk teknologi informasi itulah yang kini mengaburkan mana yang nyata dengan mana yang tidak nyata. ... .masyarakat ini telah menjadi masyarakat tontonan.

Dunia visual – disebabkan sifat teknologinya – cenderung mendistorsi dan mengorup realitas. Problemnya, spektakel atau tontonan seperti tersaji di televisi, kini tidak lagi diterima sebagai realitas yang telah berdistorsi atau terkorup, tetapi diterima sebagai kenyataan baru atau meminjam istilah teman-teman filsafat sebagai weltanschauung – suatu semangat yang telah terealisasikan menjadi kenyataan baru, kesunyatan baru.

Bagaimana di era di mana kebudayaan visual menjadi panglima dan menguasai segala-galanya sekarang? Yang karena mahalnya teknologi, asas penyelenggaraannya pun umumnya di dasarkan asas perdagangan? Yang penting rating bagus, laku di jual, dan pemirsa senang? Serta memuaskan narsisme kelas menengah?

Untung para Nabi hadir ribuan tahun lalu. Kalau nabi ada sekarang, dia akan muncul di televisi dan kami bakal berhenti mempercayainya.

Kompas|Minggu, 18 Desember 2011|Laporan Akhir Tahun|Doa Bulan November|BRE