Jumat, 05 Juli 2013

Indonesia dalam Penantian

Belum Pernah bangsa Indonesia memasuki labirin persoalan yang demikian rumit dan kompleks seperti sekarang.
Bahkan, setiap celah yang semula di anggap jalan keluar, setelah dilalui, ternyata membawa kita memasuki labirin baru yang jauh lebih rumit dan kompleks dibandingkan sebelumnya.
Kita, misalnya, pernah melihat pemisahan Polri dari TNI sebagai celah untuk membawa bangsa ini keluar dari represi kekuasaan. Namun ketika hal itu dilakukan, Polri yang menjadi lebih kuat dan mandiri itu bukannya mengayomi dan mengawal reformasi/demokrasi, melainkan jadi kekuatan intimidasi baru dengan sejumlah rekening gendut para petinggi, bahkan bintaranya.
Semula kita juga percaya kedaulatan (politik) rakyat hilang karena adanya pengekangan sistem kepartaian hanya menyediakan dua partai politik - Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) – dan Golongan Karya (Golkar). Maka, gelombang reformasi masuk ke celah yang membawa keran kebebasan mendirikan parpol. Namun, puluhan parpol yang berhamburan di ranah demokrasi kita tumbuh menjadi lintah-lintah bangsa. Semua bergerak menghisap darah dan energi bangsa.
Sampai sekarang sudah banyak tenaga dan pikiran yang kita keluarkan agar bangsa ini bisa lolos dari labirin politik kepartaian, dengan lintah-lintah parpol penghisap darah yang kian besar dan menjijikkan.
Ketika presiden bisa dengan mudah dijatuhkan oleh hegemoni kekuatan politik parlemen kita melihat ada celah “presiden dipilih langsung” sebagai jalan keluarnya. Bahkan, agar nafas presidensial menguat, kandidat calon presiden harus didukung parpol atau gabungan parpol pemilik suara minimal 25 persen, atau 20 persen kursi DPR di parlemen pusat. Sekarang, justru presiden yang dipilih langsung dengan


presiden threshold, seperti itulah persoalan paling krusial yang membuat bangsa Indonesia seperti kehabisan akal.
Kita tidak tahu lagi bagaimana menghindarkan diri dari kepemimpinan raja-raja lintah yang mengendalikan oligarki (kartel) politik itu. Karena faktanya, kandidat pemimpin nasional ditentukan sepenuhnya oleh mereka. Padahal, saat bersamaan, kita tahu persoalan bangsa ini rumit dan mereka adalah bagian dari persoalan itu.
Untuk keluar dari labirin persoalan bangsa, meminjam mitologi Yunani kuno, kita memerlukan Ariadne, orang paling suci kala itu. Putri Raja Helios ini, dengan gulungan benangnya, sukses membimbing Theseus, perancang labirin penjebak monster ganas Minotaur.
Dalam pengertian sekarang, Ariadne adalah tokoh mumpuni, memiliki cita-cita menyelamatkan bangsanya, dan bukan sekedar ingin jadi presiden. Yang paling penting, dia “orang suci” dalam pengertian orang bersih dan tak menjadi bagian dari soal yang membelit bangsanya.

Menyita Waktu
            Dalam 15 tahun terakhir ini, politik memang masalah paling rumit dan paling banyak menyita sumber daya bangsa ini. Politik (kekuasaan) dalam pengertian yang harfiah telah berubah jadi lubang hitam yang menyedot apa saja yang melintas di atasnya. Waktu, tenaga, pikiran, uang ratusan triliun, ulama, cendekiawan, orang baik, orang jahat, artis sinetron, dan pengusaha tersedot lubang hitam politik itu.
            Sebagai sebuah bangsa, kita sekarang seperti sedang berada di ruang tunggu. Menanti keajaiban atau semacam sentuhan “tangan Tuhan” ke punggung kita agar di pundak kita tumbuh sepasang sayap yang membuat kita bisa terbang jauh. Sebab, dijalan demokrasi, yang puncaknya adalah pemilihan umum - di negara lain merupakan sarana revitalisasi kekuasaan – justru membuat mayoritas rakyat Indonesia semakin kehilangan harapan.
            Dalam pandangan mayoritas rakyat Indonesia, sebagaimana tercermin dalam pelbagai survei, setiap pemilu, apalagi pemilu kepala daerah (bupati, walikota, gubernur), hanya melahirkan tiga hal: hukum, koruptor, dan amuk massa.
            Terjadilah trauma demokrasi karena demokrasi (pemilu) belum pernah menjadi mekanisme yang melahirkan kepemimpinan yang mampu membawa masyarakatnya menuju harapan baru: kesejahteraan. Bahkan, dalam sepuluh tahun terakhir, demokrasi jadi ajang pemilik uang dan pesohor masuk bursa kekuasaan.
            Orang-orang yang berintegritas dan bertahun-tahun hidup di tengah rakyat karena kegiatannya mengadvokasi masyarakat marginal, ketika memilih jalan politik meluaskan perjuangan, selalu kandas di kotak suara. Modal sosial yang mereka kapitalisasi dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun dilibas begitu saja oleh pemilik modal finansial yang menguasai struktur parpol.
            Parpol lebih mementingkan orang yang punya modal finansial ketimbang modal sosial. Padahal, di seluruh dunia, aset paling berharga bagi politisi adalah modal sosial, bukan modal finansial.
            Memang seperti tidak ada jalan keluar bagi bangsa yang sudah memasuki labirin persoalan dengan rumit ini. Pemilu yang akan di gelar pada 2014 jauh-jauh hari sudah menimbulkan apatisme karena proses, peserta, dan seluruh unsur pendukungnya tak membuat pemilu menjadi “sesuatu” yang bermanfaat bagi bangsa.

            Sebetulnya ada cara mengeluarkan bangsa ini dari labirin persoalan: kembali ke “khitah 1945” ke tujuan awal para pendiri bangsa memerdekakan negeri ini, yang dijelaskan secara cerdas dalam Preambul UUD 1945. Namun, cara sederhana yang bijaksana itu memerlukan kekuatan besar, bersatunya seluruh elemen masyarakat dalam kepemimpinan yang terpercaya.

Adhie M Massardi
Sekjen Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia
Kompas, Sabtu, 22 Juni 2013