Belum Pernah bangsa
Indonesia memasuki labirin persoalan yang demikian rumit dan kompleks seperti
sekarang.
Bahkan, setiap celah
yang semula di anggap jalan keluar, setelah dilalui, ternyata membawa kita
memasuki labirin baru yang jauh lebih rumit dan kompleks dibandingkan
sebelumnya.
Kita, misalnya,
pernah melihat pemisahan Polri dari TNI sebagai celah untuk membawa bangsa ini
keluar dari represi kekuasaan. Namun ketika hal itu dilakukan, Polri yang
menjadi lebih kuat dan mandiri itu bukannya mengayomi dan mengawal
reformasi/demokrasi, melainkan jadi kekuatan intimidasi baru dengan sejumlah
rekening gendut para petinggi, bahkan bintaranya.
Semula kita juga
percaya kedaulatan (politik) rakyat hilang karena adanya pengekangan sistem
kepartaian hanya menyediakan dua partai politik - Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) – dan Golongan Karya (Golkar). Maka,
gelombang reformasi masuk ke celah yang membawa keran kebebasan mendirikan
parpol. Namun, puluhan parpol yang berhamburan di ranah demokrasi kita tumbuh
menjadi lintah-lintah bangsa. Semua bergerak menghisap darah dan energi bangsa.
Sampai sekarang sudah
banyak tenaga dan pikiran yang kita keluarkan agar bangsa ini bisa lolos dari
labirin politik kepartaian, dengan lintah-lintah parpol penghisap darah yang
kian besar dan menjijikkan.
Ketika presiden
bisa dengan mudah dijatuhkan oleh hegemoni kekuatan politik parlemen kita
melihat ada celah “presiden dipilih langsung” sebagai jalan keluarnya. Bahkan,
agar nafas presidensial menguat, kandidat calon presiden harus didukung parpol
atau gabungan parpol pemilik suara minimal 25 persen, atau 20 persen kursi DPR
di parlemen pusat. Sekarang, justru presiden yang dipilih langsung dengan
presiden threshold, seperti itulah persoalan paling
krusial yang membuat bangsa Indonesia seperti kehabisan akal.
Kita tidak tahu
lagi bagaimana menghindarkan diri dari kepemimpinan raja-raja lintah yang
mengendalikan oligarki (kartel) politik itu. Karena faktanya, kandidat pemimpin
nasional ditentukan sepenuhnya oleh mereka. Padahal, saat bersamaan, kita tahu
persoalan bangsa ini rumit dan mereka adalah bagian dari persoalan itu.
Untuk keluar dari
labirin persoalan bangsa, meminjam mitologi Yunani kuno, kita memerlukan
Ariadne, orang paling suci kala itu. Putri Raja Helios ini, dengan gulungan
benangnya, sukses membimbing Theseus, perancang labirin penjebak monster ganas
Minotaur.
Dalam pengertian
sekarang, Ariadne adalah tokoh mumpuni, memiliki cita-cita menyelamatkan
bangsanya, dan bukan sekedar ingin jadi presiden. Yang paling penting, dia
“orang suci” dalam pengertian orang bersih dan tak menjadi bagian dari soal
yang membelit bangsanya.
Menyita Waktu
Dalam 15
tahun terakhir ini, politik memang masalah paling rumit dan paling banyak
menyita sumber daya bangsa ini. Politik (kekuasaan) dalam pengertian yang
harfiah telah berubah jadi lubang hitam yang menyedot apa saja yang melintas di
atasnya. Waktu, tenaga, pikiran, uang ratusan triliun, ulama, cendekiawan,
orang baik, orang jahat, artis sinetron, dan pengusaha tersedot lubang hitam
politik itu.
Sebagai
sebuah bangsa, kita sekarang seperti sedang berada di ruang tunggu. Menanti
keajaiban atau semacam sentuhan “tangan Tuhan” ke punggung kita agar di pundak
kita tumbuh sepasang sayap yang membuat kita bisa terbang jauh. Sebab, dijalan
demokrasi, yang puncaknya adalah pemilihan umum - di negara lain merupakan sarana
revitalisasi kekuasaan – justru membuat mayoritas rakyat Indonesia semakin
kehilangan harapan.
Dalam
pandangan mayoritas rakyat Indonesia, sebagaimana tercermin dalam pelbagai
survei, setiap pemilu, apalagi pemilu kepala daerah (bupati, walikota, gubernur),
hanya melahirkan tiga hal: hukum, koruptor, dan amuk massa.
Terjadilah
trauma demokrasi karena demokrasi (pemilu) belum pernah menjadi mekanisme yang
melahirkan kepemimpinan yang mampu membawa masyarakatnya menuju harapan baru:
kesejahteraan. Bahkan, dalam sepuluh tahun terakhir, demokrasi jadi ajang
pemilik uang dan pesohor masuk bursa kekuasaan.
Orang-orang
yang berintegritas dan bertahun-tahun hidup di tengah rakyat karena kegiatannya
mengadvokasi masyarakat marginal, ketika memilih jalan politik meluaskan
perjuangan, selalu kandas di kotak suara. Modal sosial yang mereka kapitalisasi
dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, dari tahun ke
tahun dilibas begitu saja oleh pemilik modal finansial yang menguasai struktur
parpol.
Parpol
lebih mementingkan orang yang punya modal finansial ketimbang modal sosial.
Padahal, di seluruh dunia, aset paling berharga bagi politisi adalah modal
sosial, bukan modal finansial.
Memang
seperti tidak ada jalan keluar bagi bangsa yang sudah memasuki labirin
persoalan dengan rumit ini. Pemilu yang akan di gelar pada 2014 jauh-jauh hari
sudah menimbulkan apatisme karena proses, peserta, dan seluruh unsur
pendukungnya tak membuat pemilu menjadi “sesuatu” yang bermanfaat bagi bangsa.
Sebetulnya
ada cara mengeluarkan bangsa ini dari labirin persoalan: kembali ke “khitah
1945” ke tujuan awal para pendiri bangsa memerdekakan negeri ini, yang
dijelaskan secara cerdas dalam Preambul UUD 1945. Namun, cara sederhana yang
bijaksana itu memerlukan kekuatan besar, bersatunya seluruh elemen masyarakat
dalam kepemimpinan yang terpercaya.
Adhie M Massardi
Sekjen Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia
Kompas, Sabtu, 22 Juni 2013