A. Pengertian dan Hukum Mahar
Pengertian mahar secara etimologi berarti maskawin. Sedangkan pengertian mahar menurut istilah ilmu fiqih adalah pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon isteri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang isteri kepada calon suaminya dalam kaitannya dengan perkawinan. Pemberian itu dapat berupa uang, jasa, barang, ataupun yang lainnya yang dianggap bermanfaat oleh orang yang bersangkutan.
Kemudian menegnai depinisi mahar ini dalam Kompilasi Hukum Islam, juga dijelaskan bahwa mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik bebentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Dalam ilmu fiqih mahar atau maskawin mempunyai banyak nama. Demikian pula dalam al-Qur’an, maskawin sering disebut dengan sebutan yang berbeda-beda, kadangkala disebut dengan shadaq,nihlah, faridhah, atau ajrun. Dalam hadits, kata maskawin biasa disebut dengan dua kata saja, yaitu shadaq, dan maharDasar hukum mahar.
Firman Allah :
Artinya :
“Berikanlah kepada wanita-wanita yang kamu nikahi mahar mereka dengan kerelaan.”
( Q.S. An-Nisaa : 4)
Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh lelaki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa mahar merupakan/sebagai rukun nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib.
Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 30 dikatakan bahwa “ Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak”.
B. Ukuran Mahar
Besarnya mahar tidak ditetapkan dalam Islam. Hal ini disebabkan adanya perbedaan antara sesama manusia. Disamping itu, setiap masyrakat mempunyai adat kebiasaan yang berbeda. Oleh karena itu, menurut penulis besarnya mahar disesuaikan dengan kebiasaan suatu negeri disamping kondisi ekonomi kedua calon mempelai. Mengenai besarnya mahar, fuqaha sepakat bahwa mahar itu tidak ada batasnya, apakah sedikit atau banyak. Namun mereka berbeda pendapat tentang batasan paling sedikitnya.
Imam Syafi’i, Ahmad, Ishak, Abu Saur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan tabi’in mengatakan bahwa mahar itu tidak ada batasan rendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan sebagai mahar. Sebagaian Fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit sepempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas dan perak tersebut.
Immam Abu Hnifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham, adalagi yang mengatakan empatpuluh dirham.
Menegenai ukuran atau kadar mahar ini dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 32 bahwa “penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam”.
Dengan demikian, besarnya mahar antara satu dan lain tempat akan berbeda-beda. Hanya saja permintaan yang terakhir ini disindir Nabi dengan sabdanya :
“Wanita yang paling banyak membawa berkah adalah wanita yang paling sedikit maskawinnya.”
Dalam masyarakat kita, pemberian mahar itu dikompromikan antara kedua mempelai bahkan sejak jauh-jauh hari.
C. Syarat-syarat Mahar
Mahar yang diberikan kepada calon isteri, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Harta/bendanya yang berharga
Tidak sah mahar dengan yang tidak yang memiliki harga apalagi sedikit, walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi, apabila mahar sedikit tetapi memiliki nilai, maka tetap sah.
b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat
Tidak sah mahar dengan khamar, babi atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
c. Barangnya bukan barang gasab
Memberikan mahar dengan barang hasil gasab, adalah tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.
d. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya
D. Macam-Macam Mahar
Adapun mengenai macam-macam mahar, ulama fiqih sepakat bahwa mahar itu bisa dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
a. Mahar Musamma
Yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah.
Ulama fiqih sepakat bahwa dalam pelaksanaannya mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila:
a). Telah bercampur (bersenggama) Q.S An -Nisa : 20
b). Apabila salah satu dari suami isteri meninggal. Demikian pendapat ‘ijma.
Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan isteri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu, akan tetapi kalau isteri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengahya.Sebgaimana Firman Allah SWT Q.S Al -Baqarah : 237.
b. Mahar Misil
Yaitu mahar yang tidak disebut kadarnya, pada saat sebelum ataupun ketika terjadi perhnikahan. Bila terjadi demikian, mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/bude), apabila tidak ada maka misil itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.
Mahar misil juga dapat terjadi apabila dalam keadaan sebagai berikut:
- Bila tidak disebutkan kadar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan isteri, atau meninggal sebelum bercampur.
- Kalau mahar musamma belum dibayar, sedangkan suami telah bercampur dengan isteri dan ternyata nikahnya tidak sah.
Dalam hal ini, nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya, maka nikahnya disebut nikah tafwid. Hal ini menurut jumhur ulama dibolehkan. Dalam al-Qur’an syrat al-Bqarah : 236 dijelaskan.
DAFTAR PUSTAKA
q Departemen Agama R.I, Al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta Th 1971.
q Departemen Agama R.I, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta Th 2001.
q Imam Muslim, Shahih Muslim, Penerbit Dahlan, Bandung 1980.
q Imam An-Nasâ’i, Sunan Nasâi, Penerbit Dârul Ma’rifah Beirut- Libanon.
q Prof. Abdul Rahman. I. Doi. Ph, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, Cet 2 Penerbit PT. Rineka Cipta, Jakarta Th 1996.
q DRS. H. Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Penerbit Pustaka Setia Th 2000.
endang taufik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar