Sabtu, 14 Januari 2012

Adonis

Sastrawan Arab yang bernama asli Ali Ahmad Said Asbar (1. 1930). Adonis disebut Ali Harb, salah seorang cendekiawan Arab terkemuka sebagai “nabi”.

Ia adalah simbol yang dipuja sekaligus dikecam karena kerap tak lazim dan menimbulkan kerumitan luar biasa dalam berkarya, juga mendobrak kemapanan. Ia modern dalam pengertian menawarkan kebaruan dan menghadirkan semesta kemungkinan yang tanpa penyudahan. Selebihnya adalah perlawanan atas budaya Arab (islam) yang ia saksikan, rasakan dan dialami sendiri; kemapanan pada tradisi masa lalu.

Ia menghadirkan diri sebagai pencipta yang tak sedia menemui ajal kemapanan (toughtful poet). Kesediaan tunduk pada kepatuhan yang mapan merupakan kemunafikan.

Adonis gelisah pada sastra genealogi sastra Arab yang masih banyak mengagungkan spirit dan bentuk masa lalu, yang tak boleh diganggu gugat serta gelisah pada kebudayaan Arab – Islam yang berirama stanza statis.

Masa lalu menjadi segala-galanya, kebudayaan Arab – Islam kini tak boleh bertanya, dalam nalar masa lalu ia berada. Kekinian tak bermakna kala masa lalu tidak dihadirkan. Tradisi dimanunggalkan dalam tafsir yang serba meliputi.

Simpulan Adonis; ternyata nalar Arab-Islam tak mampu berjejak pada kemajuan zaman karena tertarik jauh ke belakang sejarah. Glorifikasi dan romantisasi masa lalu yang gemilang selalu dipegang. Yang kini (al-hadhir) dan yang mendatang (al-mustaqbal) bersifat linear mengikuti garis lurus tradisi masa lalu (al-turats al-qadim). Bagi kaum konservatif Arab, pandangan inilah yang mencibir Adonis sebagai “Berhala Kejahatan”.

Masa lalu terkait dengan pendasaran prinsip-prinsip keagamaan yang amat statis. Nalar yang dihadirkan mesti diasosiasikan terhadap al-madhi (masa lalu) sehingga generasi berikutnya, hanya mengambil al-ittiba (imitasi), taklid (meniru), dan serba mengikuti struktur arketipe masa lalu. Pelbagai kecenderungan untuk dinamisasi kebudayaan yang muncul untuk keluar dari kerangkeng kejumudan dan konservativisme ditolak habis-habisan. Padahal, “yang dinamis’ identik dengan spirit kemajuan, yang kemudian bersetubuh dengan teologi al-hadhir (kemendatangan), al-aql’ (pemikiran), al-ibda (kreatifitas), al-fard (individu), serta keniscayaan perubahan kebudayaan.

Adonis mengatakan, selamanya orang Arab – Islam tidak akan pernah makmur dan menjadi “pencipta”, kecuali jika struktur tradisional pemikiran Arab itu didekonstruksi sehingga terjadi perubahan dalam cara memandang dan memahami sesuatu. Yang mesti disadari betul bahwa dasar kebudayaan Arab ialah plural, tidak satu.

Masa lalu tidak bernilai, selama ia tidak menjadi kekuatan untuk menjadi kekuatan untuk menjadi bagian masa depan kala ia dimanfaatkan secara inovatif.

Menurut Adonis, modernitas sama dengan sekularisme dan rasionalisme absolut sebagai jalan tunggal menuju keadilan sosial, egalitarianisme, dan kemajuan. Manusia, bukan Tuhan, harus menjadi pusat dunia dengan dirinya sendiri, dan kebebasan atau kehendaknyalah yang mesti mengukir sejarah peradaban sesuai dengan fungsi akal. Hanya melalui pengalaman manusia dan efektivitasnya di dunia luar yang dapat membawa pada makrifat kebenaran, bukan spekulasi, kontemplasi, maupun praanggapan keagamaan yang apriori.

Adonis amat mempercayai bahwa peran manusia-manusia kreatif yang mempunyai will to power dan memahami betul arti kebebasan dapat menjadi agen-agen perubahan utama.

Manusia tidak boleh terkungkung oleh nilai-nilai kebudayaan klasik yang terlalu menentukan, apalagi jika antropologi kemanusiaan terlalu ditentukan secara geosentris yang mengebiri sifat kebebasan. Akan tetapi, dalam pertarungan di panggung sejarah, kemenangan kerap berpihak pada pemegang imitasi dan pendukung kemapanan.

Otoritas kebenaran menjadi milik kaum penguasa. Agama ditempatkan sebagai kekuasaan politis yang memisahkan unsur budaya untuk kemudian memberikan standarisasi pada teks kebenaran, wahyu, dan bangunan keilahian.

Kompas Seni | Wancana | Minggu, 11 November 2007
_Zacky Khairul Umam_
Program Studi Arab FIB UI, Depok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar