“ Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hamba-Nya selain dengan diwasiatkannya para ulama. Sehingga, saat tidak tersisa lagi orang berilmu, orang-orang mengangkat tokoh pemimpin yang bodoh yang ketika ditanya mereka menjawab tanpa kapasitas ilmu. Sungguh, mereka sesat dan menyesatkan.” (HR Bukhari - Muslim).
Pesan Rasulullah SAW di atas memprediksi kondisi masyarakat tanpa pedoman cahaya ilmu. Pesan ini mungkin terkesan kontradiktif jika dibandingkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern kini yang berlangsung sedemikian pesat. Meski, pertanyaan lain muncul, jika memang ilmu pengetahuan demi kebaikan orang banyak, lantas kenapa kebejatan moral justru identik dengan perkembangan ilmu pengetahuan?
Anas bin Malik menjelaskan, hakikat ilmu termaksud, bukan dilihat dari pesatnya ilmu pengetahuan, keterampilan, dan skill. Tetapi, sirnanya ruh ilmu yang mewariskan rasa takut kepada Allah dalam pelakunya (khasy-yah wa muraqabatullah).
Hilangnya rasa takut menjadikan ilmu tanpa cahaya. Ada perangkatnya namun hilang ruh kebaikannya. Ilmu hanya dipergunakan sebagai kegunaan teknis dan mengabaikan spirit kebaikan di dalamnya. Akibatnya, kedigdayaan ilmu dipergunakan seseorang guna menebar kejahatan dan kesesatan; mengeksploitasi alam, merusak lingkungan, tatanan sosial, dan moralitas kekuasaan. Sungguh, inilah yang disinyalir sesat dan menyesatkan.
Para ulama menggarisbawahi, terdapat tiga cara hilangnya ilmu dari seseorang. Pertama, sirna dari hati. Kedua, wafatnya para ulama dan ini dimulai sejak Rasulullah SAW wafat di (rasa takut kepada Allah) dan amal, sia-sia belaka.
Hadis di atas berpesan kepada para ulama dan penguasa. Sebagai pengayom, keduanya memiliki misi penting dalam pemberdayaan masyarakat. Namun, jika ilmu mereka tidak disertai rasa takut kepada Allah SWT, yang terjadi adalah mendahulukan kepentingan pragmatis dan sesaat untuk diri sendiri.
Hilangnya ruh ilmu akibat tercerabutnya tradisi para ulama salaf. Yahya Ar-Razy berwasiat, “Wahai para ilmuan! Istanamu seperti para kaisar, pakaianmu ibarat kaum zhahiri, sepatumu seperti pengikut Jalut, kendaraanmu sama dengan Qarun, gaya kuasamu persis Firaun, dan dosamu layaknya kaum Jahiliyah. Lantas, di manakah syariat Muhammad?”. Semoga kita bukan orang berilmu yang ‘tersesat’.
Hikmah
Oleh Yusuf Burhanudin
Surat Kabar Republika
September 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar