Sabtu, 24 Desember 2011

makalah Filsafat Ilmu

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

          Ilmu ada seiring dengan adanya manusia, tanpa manusia ilmu tidak ada.
Pengembangan ilmu tentunya dibarengi dengan komponen akal dalam diri manusia, karena dengan akal, manusia lebih mudah untuk berpikir.
          Akal merupakan subyek sedangkan alam semesta sebagai obyek, artinya alam semesta atau dunia ini telah diubah menjadi bagian-bagian dari kebudayaan dan menjadi komponen dari pengetahuannya tentang alam semesta[1].
          Seperti yang telah dikemukakan diatas, bahwa manusia adalah mahluk berpikir oleh karenanya manusia memiliki kedudukan yang paling mulia, sebagaimana yang tersirat dalam Al-qur’an yang artinya: “ manusia adalah mahluk yang berpikir”, “bahwa manusia adalah mahluk yang paling mulia”.
Dari ayat Al-qur’an tesebut diatas membuktikan bahwa manusia memiliki eksistensi yang lebih agung dari pada mahluk lain yang telah diciptakan oleh sang Kholiq.
          Dengan demikian dapat disimpulkan, semakin berkembangnya pemikiran manusia, semakin luas pula inovasi-inovasi yang dihasilkan.
          Dalam makalah ini, penulis tidak akan membahas mengenai inovasi-inovasi baru yang dihasilkan dari akal ataupun pemikiran tersebut. Namun penulis akan membahas dan memaparkan mengenai dimensi-dimensi ilmu yang terlahir dari alam pikiran atau akal manusia.

B. Rumusan masalah.
          Dari latar belakang tersebut diatas maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut : “ Dimensi-dimensi  apakah yang telahir atau terproduk dari ilmu yang terdapat dalam akal manusia?”.

BAB IIPEMBAHASAN

DIMENSI DIMENSI ILMU
          Manusia tidak akan pernah memahami segala sesuatu tanpa dibarengi dengan ilmu, karena ilmu itu sendiri adalah sebagai kunci untuk memasuki dunia pemahaman, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam surat Al- Ankabut : 43, yang artinya : “ Dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu”.
          Selanjutnya, Rosulullah S.a.w telah bersabda: “ Diwajibkan mencari ilmu
pada seluruh muslim laki-laki dan perempuan”.
Dari ayat Al-qur’an dan Hadits tersebut diatas, membuktikan betapa wajibnya mencari ilmu khususnya bagi setiap muslimin dan muslimat. Ilmu dapat menjawab semua problematika yang terhidang atau yang ada dialam semesta ini. Bahkan Al-kitab ( Al-qur’an ) adalah sumber ilmu pengetahuan. Sejalan dengan ungkapan tersebut Prof. DR.H.M. Rasjidi dalam bukunya mengatakan : “ Al-qur’an adalah sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan [2]”.
Tokoh tersebut diatas berorientasi pada firman Allah yang artinya: “ Dan
kami turunkan padamu Alkitab (al-qur’an ) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat...” (An-Nahl : 38).
Merujuk pada bahasan dimensi-dimensi ilmu, ada beberapa hal dari dimensi-dimensi ilmu yang perlu kita cermati, adapun dimensi-dimensinya sebagai berikut :

a. Dimensi Pengembangan Daya Pikir.
Drs. Muhaimin, MA mengatakan bahwa manusia adalah mahluk berpikir, berpikir adalah bertanya, bertanya adalah upaya mencari jawaban, dan mencari jawaban berarti mencari kebenaran, mencari jawaban tentang sesuatu berarti mencari kebenaran tentang sesuatu itu[3].
Berpikir adalah aktivitas yang merupakan ciri khas dari aktivitasnya
manusia, manusia berpikir adalah sebagai perkembangan idea dan konsep.
          Akan tetapi, tidak semua berpikir itu menghasilkan ilmu, pemikiran yang dapat
menghasilkan ilmu adalah pemikiran yang benar-benar sistematis dan
sungguh-sungguh. Artinya, suatu cara berpikir yang berdisiplin, dimana
seseorang yang berpikir tidak membiarkan idea dan konsep dipikirannya
berkelana tanpa arah, tetapi senantiasa diarahkan pada tujuan-tujuan terentu yaitu
pengetahuan, berpikir  demikian itulah yang disebut pemikiran keilmuan
Dalam Ensiklopedia Indonesia seperti yang dikutip oleh prof. DR. M. Rasjidi ( 1988:42 ) disebutkan: “ ilmu pengetahuan ialah suatu sistem dari berbagai pengetahuan yang masing-masing mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu, yang disusun sedemikian rupa menurut asas tertentu, hingga menjadi kesatuan suatu sistem dari berbagai pengetahuanyang masing-masing didapatkan sebagai hasil-hasil pemeriksaan- pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan memakai metode-metode tertentu ( induksi, deduksi)”.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat dari dua sisi yaitu sebagai hasil atau produk berpikir dan sebagai kegiatan pengembangan daya pikir.
Dengan kreasi akal, manusia semakin maju dalam pengembangan ilmu pengetahuan, itu terbukti dengan banyaknya ilmu pengetahuan yang bermunculan seiring dengan kebutuhan manusia.
Sebagai produk pemikiran, maka ilmu merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis, bermetode, ketepatan dan kebenarannya dapat diverifikasi dan dieksperimen. Maka sasaran ilmu pengetahuan adalah alam, manusia dan agama.
Perlu diperjelas kembali, ada beberapa perbedaan antara ilmu pemgetahuan dan pengetahuan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ir. Moch. Hatta : Bahwa pengetahuan  yang didapat dari hasil pengalaman disebut pengetahuan, sedangkan pengetahuan yang didapat dari hasil keterangan disebut ilmu.

b.Dimensi alat pengembagan daya pikir.
Sebagaimana yang dikemukakan pada point pertama bahwa ilmu pengetahuan sebagai produk berpikir, ilmu juga sebagai alat pengembangan daya pikir.
Secara kebahasaan kata ilmu lebih tepat diganti dengan dengan istilah “keilmuan”, yang mana kata keilmuan itu sendiri memiliki eksistensi sebagai kata kerja.
Keilmuan merupakan aktivitas atau kegiatan berpikir yang dinamis dan tidak statis.
Pada bahasan point ini yaitu ilmu sebagai alat pengembangan daya pikir, maka setiap kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun  selama hal itu masih daalam tataran empiris dan pengetahuan itu diperoleh dengan metode keilmuan, adalah syah untuk disebut keilmuan. Sebagai contoh dikalangan umat islam, tentang studi keislaman atau belajar agama islam bertujuan untuk memahami danmendalami serta membahas ajaran-ajaran islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkan secara benar, serta menjadikannya sebagai pegangan dan pedoman hidup.
Disini terbukti, urgensi ilmu sebagai alat pengembangan daya pikir manusia, karena berpikir keilmuan bukanlah berpikir biasa tetapi berpikir yang teratur, berdisiplin, bermetode, dimana ideal dan konsep tidak dibiarkan tidak terarah dan tidak bertujuan.
Berpikir keilmuan merupakan upaya untuk mempertajam ratio atau insting ( daya nalar ).Gelar ataupun titel tidak berlaku, sehingga dia mampu berpikir saintis dan sistematis.
Aktivitas berpikir seperti itu ( ilmiah ), hal itu sangat relevan dan dianjurkan sebagaimana yang tersirat dalam Al-qur’an yang artinya : “ini adalah sebuah kitab yang diturunka kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapatkan pelajaran orang- orang yang mempunyai pikiran” (Q.S. Shad : 28 ).                
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa tata keilmuan sebagai bentuk kata kerja, yang mana berfikir keilmuan adalah menyatukan idea dan konsep tanpa diberikan celah atau dibiarkan berfikir tanpa arah dan tujuan.

C.Dimensi alat untuk mengolah sumber dalam rangka menuju ridha Allah SWT.
Kehidupan manusia memiliki tujuan yaitu untuk mencapai ridha Allah SWT.
Dirosah al-islamiyah atau studi keislaman yang kita dalami atau yang kita pelajari akan melahirkan suatu pengamalan yang benar dan sesuai dengan ajaran-ajaran islam, sebagaimana yang dikemukakan oleh Drs. Muhaimin, MA bahwa dirosah al-islamiyah adalah usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk-beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan ajaran agama islam dan praktek-praktek aflikasinya secara konkret dalam kehidupan sehari-hari (1994:11).
d. pemikiran kritis-dialektis.
K.H. Abdullah gymnastiar dalam pidatonya mengatakan: “luruskan niat, sempurnakan ikhtiar, bangun karakter keislaman, tajamkan pikiran”
Yang perlu digaris bawahi dari ungkapan tersebut adalah tajamkan pikiran, itu membuktikan pada kita bahwa kita dituntut untuk berfikir kritis – dialektis seorang ilmuan dalam menghadapi setiap persoalan harus memiliki sikap ilmiah antara lain objektif, artinya tidak memihak (netral) kecuali kepada kebenaran yang dituju.
Seorang ilmuan adalah a posteriori dan menghindarkan sikap a priori artinya menerima sesuatu tanpa pikir, tanpa koreksi, argumen, dalil, penyelidikan.
Sedangkan a posteriori adalah sikap kritis terhadap sesuatu dan tidak menerimanya kecuali setelah ada bukti dan argumen yang dianggap kuat untuk menerima hal itu.
Metode pemikiran kritis-dialektis yaitu suatu metode pemikiran yang menggunakan cara pertanyaan dan kritikan sedanyak-banyaknya dan sedetail-detailnya terhadap sesuatu pendirian atau pendapat 
Menurut catatan sejarah Socrates[4] adalah propagandis pertama yang mengemukakan metode pemikiran krits-dialektis, itu terbukti ketika beliau mengajar dihadapan murid-muridnya untuk mempertanyakan sebanyak-banyaknya tentang suatu problem, kemudian dari pertanyaan-pertanyan tersebut diharapkan keluar kesimpulan sebagai suatu kebenaran yang dicari.
Tapi meskipun Socrates dianggap sebagai bapak pemikir kritis-dialektis dalam sejarah filsafat, namun dalam catatan sejarah Nabi-nabi jauh sebelum Socrates metode pemikiran seperti itu telah digunakan oleh nabi Ibrahim AS sebagaimana dikisahkan dalam Al-quran ketika Ibrahim yang beranjak dewasa berusaha mencari tuhannya.

e. Dimensi stratifikasi sosial.            
Orang yang memiliki ilmu atau terdidik, berfikir ilmiah adalah sangat berbeda dengan cara berfikir orang-orang yang tidak atau belum pernah terlatih untuk itu, dengan ilmu maksudnya, ilmu dapat membedakan derajat dalam masyarakat atau dengan kata lain stratifikasi, sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat Al-Mujadalah:11 yang artinya : “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan berilmu pengetahuan beberapa derajat “
Selanjutnya, Rosulullah Saw bersabda: “orang berilmu adalah kepercayaan Allah didunia”
“Manusia yang derajatnya paling dekat pada kenabian adalah ahli ilmu dan ahli jihad “.
Sejalan dengan hadist dan ayat Al-Quran tersebut diatas Azyumardi Azra mengatakan “kaum berilmu berarti kaum intelektual yang mempunyai karakter kritis dasar yang membedakan karakter lainnya”.  pemikiran keutamaan ilmu itu tidak tersembunyi  sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ghazali[5] “tidak tersembunyi keutamaan ilmu yang dengannya (seorang hamba) sampai kepada Allah dan mencapai kedekatannya yaitu kebahagiaan kekal dan kelezatan abadi yang tidak ada akhirnya, didalamnya terdapat kemuliaan dunia dan kebahagaian akhirat. Dunia adalah ladang akhirat maka orang yang berilmu menyemai kebahagiaaan abadi, yaitu dengan memperbaiki akhlaqnya berdasarkan tuntutan ilmu

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Dari bahasan sebelumnya, maka penulis mengambil kesimpulan sederhana, bahwasanya ilmu ataupun keilmuan berkorelasi dengan filsafat, definisi filsafat menurut DR. Ahmad Tafsir adalah mempelajari sedalam-dalamnya tentang alam,manusia dan tuhan.
Ketahuilah, kita tidak akan parnah bisa memahami itu semua tanpa dibarengi dengan ilmu. Oleh kerena itu tidaklah salah bahwa ilmu disebut sebagai alat pengembangan daya fikir.
Kajian ilmu tentunya harus dibedakan, artinya ilmu yang dihasilkan dari pengalaman disebut pengetahuan sedangkan pengetahuan yang dihasilkan dari keterangan-keterangan (literatur-literatur) adalah ilmu.

DAFTAR PUSTAKA

§      DRS. Muhaimin, MA, dkk,
Dimensi-dimensi studi islam, cet 1 1994, Penerbit Karya Abditama;        Surabaya.
§      Prof. DR. H.M. Rasjidi, dkk,
Islam untuk disiplin ilmu filsafat, cet 1 1988, Penerbit PT. Bulan Bintang ; Jakarta.
§      Ekky Almlaky,
Filsafat untuk semua, cet 1 2001, penerbit PT. Lentera Basritama ;Jakarta.
§      Prof .DR. Conny R. Semiawan, dkk,
Dimensi kreatif dalam filsafat ilmu, cet 3 1998, Penerbit PT. Remaja Rosda Karya ;Bandung.

§      AL-Ghazali,
Mutiara ihya ‘ulumudin:ringkasan yang ditulis sendiri oleh sang shujjatul islam, cet VII 1999, Penerbit Mizan ;Bandung  


[1] Prof. DR. Conny R. Semiawan, Dkk, Dimensi kreatif dalam filsafat ilmu, 1998, Rosda karya; Bandung, Hal 1
[2] Prof. DR. H.M. Rasjidi, Dkk, Islam untuk displin ilmu filsafat, 1988, PT. Bulan Bintang ; Jakarta hal 157. 
[3] Drs. Muhaimin, MA, Dkk, Dimensi-dimensi, Studi islam, 1994, Karya Abditama ; Surabaya, hal 284.
[4] Menurut Ekky Almalaky dalam bukunya  filsafat untuk semua, mengatakan tidak ada yang tahu persis dimana dan kapan Socrates lahir. Kemungkinan lahir tahun 470 SM dan dihukum mati tahun 399 SM.
[5] Ibnu ‘Asakir mengatakan imam Ghazali lahir dikota Thus tahun 450 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar