Minggu, 18 Desember 2011

REPUBLIK NUSANTARA

Apa yang anda lakukan kalau menjadi presiden negeri ini?

Ada hal  sederhana yang tampaknya perlu dilakukan. Yakni, mengajak seluruh bangsa ini bersepakat. Nama negara ini perlu diganti. Nama Indonesia terasa sudah kurang segar. Kurang mampu memberi gairah, apa lagi menggetarkan warganya. Nama Indonesia terasa lebih memenuhi keperluan legal formal. Bukan keperluan untuk dapat memberi nilai maknawi yang substansial. Misalnya mendorong etos warganya.


Tidak setuju nama Indonesia di ganti?  Boleh-boleh saja. Ini bangsa dan negara demokrasi. Tapi dari berbagai percakapan informal dapat disimpulkan, umumnya kita menyetujui gagasan ini. Banyak alasan yang mendasarinya. Bukan sekedar persoalan persoalan suka atau tidak. Sebab nama perlu berjiwa. Spirit atau jiwa itulah yang dapat melentingkan penyandangan untuk maju. Shakespeare bisa saja mengatakan “apalah arti sebuah nama.” Namun, untuk konteks kita sekarang, nama yang berspirit teramat penting. Tanpa spirit, tak akan ada kemajuan yang dapat diraih.

Kenyataan di masyarakat memperkuat kebutuhan ini. Mari kita tengok kasus Lapindo. Hingga kini belum selesai. Belum pula ada skenario jelas bagaimana menyelesaikannya. Nasib para korbannya juga masih banyak terbengkalai. Tengok pula nasib petani kita. Sampai sekarang kita tak punya skenario jelas buat mengangkat nasib petani. Sama tak jelasnya dengan alternatif solusi bagi berbagai krisis lainnya.

Banjir di berbagai daerah masih akan berulang dan berulang. Krisis pangan, seperti daging, kedelai, atau minyak goreng baru-baru ini, berpotensi lebih sering terjadi. Belum lagi krisis energi. Harga minyak BBM sudah jelas naik. Listrik mulai padam dan PLN ingin menaikan lagi harganya. Minyak tanah susah. Solusi listrik tenaga nuklir tak terwujud. Tempat pembuangan sampah yang tak menentu, bahkan tidak ada pabrik pendaur ulang yang besar. Demonstrasi. Kerusuhan. Keuangan negara tak menentu. Hingga muncul gagasan yang tidak lazim: Menyewakan hutan lindung untuk di jadikan pertambangan. Apa dari solusi persoalan itu? Kita cenderung hanya akan menggelengkan kepala. Kita, bangsa ini, tengah sakit.

Tentu kita harus tetap tersenyum, bersyukur, dan ikhlas. Itu modal utama untuk bangkit. Namun sakit juga harus diobati. Sedangkan obat, kata Ibnu Sina, bukan saja yang berbentuk material dengan mekanisme yang dapat dijelaskan secara rasional. Obat yang menyembuhkan juga harus mencakup jiwa. Harus ada intervensi jiwa untuk melahirkan “formula kesembuhan”. Intervensi jiwa begitu penting buat kesembuhan. Apalagi di saat obat material yang rasional belum dapat terlihat secara jelas. Seperti yang kita hadapi sekarang.

Pada masyarakat tradisional ada kearifan. Yakni saat seorang anak sakit berkepanjangan. Berbagai macam obat tak mampu mengatasinya. Maka orang tuanya akan mengganti nama sang anak. Tradisi seperti itu seperti tak bernalar. Mana mungkin sakit diatasi dengan mengganti nama. Tapi, umumnya terbukti anak akan menjadi lebih sehat. Ada suasana baru, ada spirit baru. Itulah yang menyehatkan. Prinsip itu serupa dengan pendekatan komunikasi pemasaran. Ada “siklus hidup”. Sebelum mencapai tahap “dewasa” yang kemudian menurun, produk perlu disegarkan. Banyak Amway, misalnya, disegarkan dengan bendera baru Network-21. Hal serupa terjadi pada ranah publik. Kota Bombai, misalnya, sekarang ganti nama menjadi Mumbai.

Lalu mengapa ragu melakukan itu pada Indonesia? Nama Indonesia bukan sekedar tak berakar, namun juga tak berjiwa. Apalagi sudah banyak yang terluka oleh nama Indonesia. Politik masa lalu yang menjadi penyebabnya. Kita juga punya pilihan nama yang lebih baik: Nusantara. Sebuah nama yang berakar panjang pada tanah manusia di kepulauan khatulistiwa ini. Bernard Vlekke, penulis sejarah yang sangat lengkap tentang bangsa kita, memberi judul bukunya Nusantara. Bukan Indonesia. Dengan menjadi Republik nusantara, tidak akan ada lagi tetangga yang mengejek kita dengan sebutan “orang-orang Indon”. Kita juga akan lebih antusias menyanyikan lagu kebangsaan “Nusantara Raya merdeka-merdeka!” Antusiasme inilah yang akan membuka langkah-langkah baru buat bangkit.


Republika_Jumat, 14 Maret 2008_
         Resonansi_Zaim Uchrowi_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar