ZAMAN
GEMBLUNG
Sri Winata Achmad
Diva Press
Jogjakarta, 2011
Bersama datangnya seorang pendeta
Terjadi prahara hujan dan angin
Gunung menggelegar
Kilat dan petir
Langit berselimutkan awan gulita
Banyak makhluk halus terusik
Semua setan berlari tunggang-langgang
Banaspati mengungsi
Demikian pula dengan ilu-ilu dan janggitan
Jin peri dan bekasakan, mengungsi di samudra
Raksasa berlari
Dhemit thethekan berlari kencang
Semuanya mengungsi
Tidak kuasa akan panasnya hawa
Sementara,
Sang Hyang Semar dan Sang Hyang Togog lama bertapa di gunung
Bertempat tinggal di kakinya
Berpadepokan di Merbabu
Betapa terkejut
Menyaksikan prahara yang sangat dahsyat
Makhluk halus yang terusik
Berlari tunggang-langgang berebut depan
Semuanya mengungsi di samudra
Sang Hyang Semar berkata
“Ki Togog berada di mana?”
Makhluk halus berada dalam kekacauan
Prahara besar telah terjadi
Bumi bergoyang-goyang
Gempa dan angin besar melanda
Awan gelap gulita
Kilat menyambar-nyambar
Gunung menggelegar dan bergoncang-goncang
Sang Hyang Togog menjawab pelan
“Aku tak tahu terserah pada Adhi Semar!”
Akhirnya, Sang Hyang Togog memberi tahu
Jika ia tak tahu tentang kehendak Sutan Rum mengutus pendeta
Syekh Bakir namanya
Menanam tumbal dengan gunung di tanah Jawa
Sang Hyang Togog yang telah menemui sang pendeta
Utusan dari Sultan Rum berkata
“Sang pendeta dari Rum itu yang menenung semua makhluk halus, hingga tak
satu pun yang tak mengungsi, semuanya pergi meninggalkan tempat kediamannya.”
Bersama Sang Hyang Togog
Sang Hyang Semar menemui pendeta dari Rum
Di perjalanan tak dikisahkan
Sesampai dihadapkan sang pendeta Syekh Bakir
Sang Hyang Semar menyaksikan gunung Tidar meluncur di hadapannya
Syekh Bakir berkata pelan
“Saudara datang dari mana? Aku baru melihat kalian berdua, kalian bermaksud
apa, datang di hadapanku?”
Sang Hyang Semar berkata pelan
“Aku tinggal di tanah Jawa, maksud kedatanganku ingin bertemu denganmu.”
Syekh Bakir berkata pelan
“Sesungguhnya di tanah Jawa ini belum ada manusia, masih berupa hutan
belantara.”
Sang Hyang Semar menjawab santun
“Akulah manusia itu, sejak dahulu kala, sebelum kau datang, aku telah
bertempat tinggal di gunung Merbabu telah sembilan ribu tahun, aku telah
singgah di tanah Jawa di gunung Tidar selama seribu tahun lebih setahun.”
Sang pendeta menggeleng-gelengkan kepalanya
“Kau orang macam apa? Apa benar-benar manusia? Usiamu tidak selumrah usia
manusia, aku belum mendengar orang yang berusia selaksa tahun, Nabi Adam
berusia lebih panjang, usianya hanya seribu tahun. Heh, Kiai berterusteranglah padaku,
apakah kau bukan manusia? Usiamu sangat panjang, sangat panjang sekali, bila manusia,
tak ada yang berumur selaksa tahun.”
Sang Hyang Semar berkata
“Sesungguhnya aku ini bukan manusia namun, danyang tanah Jawa. Aku putra
tertua dari Sang Hyang Tunggal yang bernama Bathara Manikmaya. Sang Hyang Semar
adalah aku, Sabda Palon adalah aku, aku bernama Ki Nayantaka, Raja danyang tanah
Jawa.
Sejarah masa silam. Ketika ibu Hawa melunturkan kamannya, terbuang dan
dipelihara dajil (iblis) dipuja untuk menurunkan para dewa.
Seluruh dewa adalah keturunanku, seluruh danyang di tanah seberang dan di
tanah Jawa, jin Parahyangan dan peri serta seluruh makhluk halus adalah keturunanku
yang mendiami tempat-tempat angker ilu-ilu janggitan adalah keturunanku.
Sementara, Togog ini jelmaan burung sendari, yang aku cipta menjadi manusia,
menjadi kawanku karenanya aku ke sini pendeta, aku akan bertanya padamu,
mengapa sang pendeta membuat kerusakan?
Seluruh anak cucuku semuanya mengungsi terkena guna-guna darimu, apa dosa
mereka? Semuanya pergi mengungsi ke samudra?”
Sang Pendeta berkata pelan
“Aku ini hanya diutus Kanjeng Sultan dari Rum, yang bermaksud menurunkan
manusia di tanah Jawa. Agar memiliki sawah, membuka hutan belantara. Yang aku
bawa ke sini manusia dari Keling, sebanyak dua laksa keluarga. Sudah menjadi
kehendak Tuhan, tidak bisa bila kau halangi.”
Sang Hyang Semar berkata
“Syukur bila demikian, aku menyetujui kehendak Kanjeng Sultan raja negeri
Rum, yang mengutusmu untuk mengisi manusia di tanah Jawa. Untuk membuka hutan
belantara. Namun aku meminta pada sang pendeta singkirkan tenung yang
menghancurkan kehidupan jin setan.”
Syekh Bakir berkata pelan,
“Ya, akan aku penuhi permintaanmu, bila Penguasa Jagat berkenan. Prahara di
tanah Jawa sesudah berjalan selama dua ribu seratus tahun mulai dari sekarang,
akan segera sirna. Seratus tahun belum ada raja, manusia belum memiliki aturan,
orang akan seperti burung.
Bila sudah genap seratus tahun lebih lima puluh satu tahun, Hyang Suksma
telah berkarya, jangan kamu melindunginya, jadilah dewa kembali. Seratus tahun
lamanya, sesudah Tuhan menghadirkan seorang raja.
Negara Galuh akan bermasa lima puluh tahun, sesudah negeri Galuh ada raja
lagi, raja dari negeri Sindula yang berusia enam puluh tahun, kemudian ada raja
dari negeri Medang Kamulan rajanya dari seberang yang datang di tanah Jawa.”
Seratus tahun kemudian, Hyang Suksma menakdirkan raja lagi, bernama Sri
Mahapunggung, patih bernama Jugulmudha, berkerajaan di kaki Gunung Lawu. Negaranya
makmur, adil dan sentosa.
Seratus tahun kemudian, Tuhan menakdirkan raja lagi, berkerajaan di Kahuripan,
seratus tahun lamanya, sesudah menurunkan tiga putra, lenyaplah keratonnya. Kemudian
kehendak Tuhan menakdirkan raja lagi.
Yang di takdirkan sebagai raja, beribu kota di Jenggala dan Kediri,
Ngurawan dan Singasari. Jadilah penasihat raja ini, mengabdilah pada titisan
Bathara Wisnu, kalian bergantilah nama. Bernama Ki Prasanta.
Sedangkan Togog, bergantilah nama Jodheh Santa, sang titisan Bathara Wisnu,
janganlah kalian berpisah. Adapun yang bertahta kerajaan di Jenggala bernama
Kudarawisrengga, sakti tiada tanding.”
(Serat Babad Tanah Jawa)
[225-235]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar