[148-152]
ISLAMISASI PRABU SILIWANGI DAN DINASTINYA
Ahmad Mansur Suryanegara,1995, Menemukan Sejarah, dalam bab Masuk dan Meluasnya Agama Islam di Jawa Barat, membicarakan tentang proses Islamisasi Dinasti Prabu Siliwangi dan tumbuhnya kekuasaan politik Islam di Jawa Barat. Bersumber dari Carita Purwaka Caruban Nagari-CPCN yang ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon, 1720 M. Kemudian menyusul Dr. H. Dadan Wildan, M.Hum. 2003 Sunan Gunung Jati, di angkat dari sumber cerita yang sama CPCN.
Dituturkan dalam Cerita Purwaka Caruban Nagari, dampak pernikahan antara Prabu Siliwangi atau Raden Manah Rarasa atau Pamanah Rasa dari Pakuan Pajajaran dengan Njai Soebang Larang putri dari Ki Gedeng Tapa, Sjah Bandar dari Muara Jati Cirebon dan juga Raja Singapura menggantikan kedudukan ayahnya Ki Gedeng Suryawijaya Sakti. Nyai Subang Larang adalah santri dari Sjech Hasanoeddin atau Sjech Qoero (ulama berasal dari Tjempa, mendirikan pesantren di Karawang Jawa Barat). Melalui pernikahannya menjadi sebab terjadinya Islamisasi Prabu Siliwangi dan Dinastinya. Pernikahan tersebut dilaksanakan secara Islami.
Dari hasil pernikahan Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang, melahirkan tiga orang anak:
1. Walang Soengsang, lahir 1423 M _putra
2. Nyai Rara Santang, lahir 1426 M _Putri
3. Radja Sangra, lahir 1427 M _putra
Ketiga putra dan putrinya adalah perintis awal Dinasti Prabu Siliwangi yang menganut agama Islam.
Nyai Rara Santang menikah dengan Maolana Soeltan Mahmoed atau Sjarif Abdullah putra dari Ali Noeroel Alim, berasal dari Bani Ismail berkuasa di kota Ismailiyah. Dari pernikahannya melahirkan Sjarif Hidayattullah atau Sunan Gunung Jati sebagai salah seorang dari Wali Sanga, cucu dari Prabu Siliwangi. Pernikahannya terjadi saat Nyai Rara Santang selesai melakukan rukun haji bersama kakaknya.
(pada depan kompleks Makam Sunan Gunung Jati, tersimpan kayu bekas istana Kerajaan Pakuan Pajajaran, pertanda hormat yang tinggi Syarif Hidayatullah kepada keturunannya Prabu Siliwangi) _namun, hal yang menyatakan Syarif Hidayatullah adalah cucu Prabu Siliwangi kurang mendapat interpretasi dari sejarawan_.
Walang Sungsang putra pertama Prabu Siliwangi, setelah naik haji bersama saudaranya dikenal dengan nama Haji Abdullah Iman, sedangkan Nyai Rara Santang dikenal dengan Saripah Moedaim.
Perkembangan wilayah pusat pemerintahan dari Dinasti Prabu Siliwangi ke arah timur, terjadi pada masa Walang Sungsang, setelah berguru selama tiga tahun dengan Sjech Datoek Kahfi di anuggerahkan nama baru, Ki Samadullah.
(Sjeh Datoek Kahfi disebut juga Sjech Nurjati. Berasal dari Makkah, pernah tinggal di Bagdad. Membuka Pondok Pesantren di Gunung Jati Cirebon. _Data ini mendukung Prof. Dr. Buya Hamka, yang menyatakan masuknya Islam di Nusantara Indonesia berasal dari Makkah).
Atas pengaruh kakeknya, Ki Gedeng tapa, ayah dari Nyai Subang Larang, sebagai Sjah Bandar Muara Jati Cirebon, dan sebagai Raja Singapura menjadikan Walang Sungsang atau Ki Samadullah membuka wilayah baru di Kebon Pasisir sebelah Selatan Gunung Amparan Jati.
(Letak Keraton Singapura_pemerintah Jawa Barat 2005 M, hal 545_menjelaskan letak Keraton Singapura, terletak 4 km di sebelah Utara Giri Amparan Jati – makam Sunan Gunung Jati sekarang - batasannya: Utara berbatasan dengan Surantaka, Barat berbatasan dengan Keraton Cirebon girang, Selatan berbatasan dengan Keraton Japura, Timur berbatasan dengan Laut Jawa teluk Cirebon)_
Walang Sungsang, di Kebon Pasisir menikah dengan Nyai Kencana Larang, putri dari Ki Danusela atau Ki Gedeng Alang Alang. Dampak dari pernikahannya Kebon Pasisir berubah nama dari Lemah Wungkuk menjadi Caruban Larang. Nama Walang Sungsang atau Haji Abdullah Iman atau Ki Samadullah berubah nama menjadi Ki Tjakra Boemi atau Pangeran Tjakraboeana.
Langkah yang di ambil oleh Ki Tjakra Boemi atau Pangeran Tjakraboeana merintis pembangunan wilayah baru, Cirebon Larang, mendapat penghormatan dari Prabu Siliwangi dari Pakuan Pajajaran ditandai dengan pemberian terhadap Ki Tjakra Boemi atau Pangeran Tjakraboeana dengan Sri Mangana. Di samping gelar ini, diserahkan juga panji-panji kerajaan yang diantarakan oleh Raja Sengara. Pertemuan ini, menjadikan Raja Sengara masuk Islam dan naik haji, kemudian dikenal sebagai Haji Mansoer.
(pengaruh Islam terjadi perubahan nama. Nama-nama yang berasal dari Hindu dengan ciri nama-nama binatang atau pengaruh Totemisme. Kemudian digantikan dengan nama-nama Islami. Misalnya Walang Soengsang _Belalang yang berposisi sungsang_ digantikan dengan nama-nama Islami: Ki Samadoellah dan Haji Abdullah Iman).
(Gelar Cakrabuana setelah Ki Gedeng Alang Alang atau Ki Danusela wafat. Gelar Cakrabuana atau Cakrabumi juga adalah penyesuaian dan Sudanisasi dari _QS 2:30, “Aku ciptakan manusia di bumi sebagai khalifah”. Dari nama Cakra tersebut terjemahan, khalifah. Sedangkan bumi tetap dengan bumi atau buana. Di Jawa Tengah menjadi Hamengku Buana, Sultan Abdurrahman, Senapati Ing Alaga, Sajjidin Panatagama, Chalifah Rasullulah saw Ing Tanah Djawa. Nama Hamengku Buana diartikan pula sebagai Khalifatul fil Ardhi).
Proses Islamisasi Prabu Siliwangi di ubah oleh kepentingan penjajah untuk kekuasaannya politiknya. Menjadikan cerita Islamisasi Prabu Siliwangi berkesan penuh kekerasan dan tidak mengenal toleransi.
API SEJARAH
Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakan NKRI
Ahmad Mansur Suryanegara
PT. Salamadani Pustaka Semesta
Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar