Syahdan, seseorang mendatangi majelis pengajian Rabi’ah Al-Adawiyah. Kepada salah seorang wanita sufi terbesar dalam Islam itu, ia membuat testimoni seputar kehidupannya. Ia akui betapa sudah terlalu jauh meninggalkan Allah SWT dan sudah tak terhitung dosa yang ia perbuat, baik dosa-dosa kabaair (dosa-dosa besar) maupun dosa-dosa shogooir (dosa-dosa kecil). Maka, ia mencoba mengukur ragam-ragam kesalahannya.
Di ujung kelelahan pengembaraannya itu, ia merasakan bukannya kesadaran positif yang muncul, melainkan malah merasa semakin jauh dari ketidaktaatan kepada Allah SWT. Lalu, ia bertanya, apakah kalau pada akhirnya ia bertobat Allah SWT akan mengampuninya. “Tidak!” jawab Rabi’ah. Ia tercekat. Serasa palu godam menerjang dadanya. “Tetapi, apabila Dia mengampuni mu engkau akan bertobat,” ujar Rabi’ah.
Menurut perspektif Rabi’ah, seseorang memerlukan kualifikasi tertentu untuk bisa melakukan pertobatan sehingga memperoleh pengampunan. Pertobatan datang setelah turunnya pengampunan dan bukan sebaliknya. Jadi, kalau Allah SWT telah mengampuni, kita akan dianugerahkan kesempatan untuk menyampaikan pengakuan akan dosa dalam bentuk pertobatan.
Pertobatan yang tulus baru akan muncul setelah kita mendapatkan pengampunan dari Allah SWT. pertobatan bukan lagi atas dosa yang dilakukan, melainkan atas kelalaian dan kealpaan yang membuat pengabdiannya kepada Allah SWT terganggu.
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”. [QS Al-Baqarah (2):222]
“Orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak berdosa”. [HR Ibnu Hibban]
_Republika|Hikmah|KH. A. Hasyim Muzadi|Jum’at, 22 Januari 2010_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar