Kamis, 15 Desember 2011

Keislaman Indonesia

Sebuah penelitian sosial bertema “How Islamic are Islamic Countries” menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling Islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140.

Adalah Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University yang melakukan penelitian ini. Hasilnya dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010). Pertanyaan dasarnya adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial?

Ajaran Islam yang dijadikan indikator dimaksud diambil dari Al Quran dan Hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek, yaitu :
1.       Ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia.
2.       Sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial.
3.       Sistem perundangan-undangan dan pemerintahan.
4.       Hak asasi manusia dan hak politik.
5.       Ajaran Islam berkaitan dengan hubungan Internasional dan masyarakat non-Muslim.

Setelah ditentukan indikatornya, lalu diproyeksikan untuk menimbang kualitas keberislaman 56 negara Muslim yang menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang rata-rata berada di urutan ke-139 dari sebanyak 208 negara yang di survei.

Pengalaman UIN Jakarta

Kesimpulan penelitian di atas tak jauh berbeda dari pengalaman dan pengakuan beberapa ustaz dan kiai sepulang dari Jepang setelah kunjungan selama dua Minggu di Negeri Sakura. Program ini sudah berlangsung enam tahun atas kerja sama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta dengan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta.

Para ustad dan Kiai itu di fasilitasi untuk melihat dari dekat kehidupan sosial di sana dan bertemu sejumlah tokoh. Setiba di Tanah Air, hampir semua mengakui bahwa kehidupan sosial di Jepang lebih mencerminkan nilai-nilai Islam ketimbang yang mereka jumpai, baik di Indonesia maupun di Timur Tengah. Masyarakat terbiasa antre, menjaga kebersamaan, kejujuran, suka menolong, dan nilai-nilai Islam yang lain yang justru makin sulit ditemukan di Indonesia.

Pernyataan serupa pernah dikemukakan Muhammad Abduh, ulama besar Mesir, setelah berkunjung ke Eropa. “Saya lebih melihat Islam di Eropa, tetapi kalau orang Muslim banyak saya temukan di dunia Arab,” katanya.

Kalau saya yang dijadikan indikator penelitian untuk menimbang keberislaman masyarakat itu ditekankan pada aspek ritual-individual, saya yakin Indonesia akan menduduki peringkat pertama menggeser Selandia Baru. Jumlah yang pergi haji setiap tahun meningkat, selama Ramadhan mesjid penuh dan pengajian semarak di mana-mana. Tidak kurang dari 20 stasiun televisi di Indonesia setiap hari menyiarkan dakwah agama. Terlebih lagi selama bulan Ramadhan, hotel pun diramaikan oleh tarawih bersama. Ditambah lagi yang namanya ormas dan parpol Islam yang terus bermunculan.

Namun, pertanyaan yang dimunculkan oleh Rehman dan Askeri bukan semarak ritual, melainkan seberapa jauh ajaran Islam itu membentuk kesalehan sosial berdasarkan ajaran Al Quran dan hadis.

Contoh perilaku sosial di Indonesia yang sangat jauh dari ajaran Islam maraknya korupsi, sistem ekonomi dengan bunga tinggi, kekayaan tak merata, persamaan hak bagi setiap warga untuk memperoleh pelayanan negara dan untuk berkembang, serta banyak aset sosial yang mubazir. Apa yang dikecam ajaran Islam itu ternyata lebih mudah ditemukan di masyarakat Muslim ketimbang negara-negara Barat, kedua peneliti itu menyimpulkan :
... it is our belief that most self-declared and labeled Islamic Countries are not counducting their affairs in accordance with Islamic teachings – at least when it comes to economic, financial, political, legal, social, and governance policies.

Dari 56 negara anggota OKI, yang memperoleh nilai tertinggi adalah Malaysia (urutan ke-38), Kuwait (48), Uni Emirat Arab (66), Maroko (119), Arab Saudi (131), Indonesia (140), Pakistan (147), Yaman (198), dan terburuk adalah Somalia (206). Negara Barat yang dinilai mendekati nilai-nilai Islam adalah Kanada diurutkan ke-7, Inggris (8), Australia (9), dan Amerika Serikat (25).

Sekali lagi, penelitian ini tentu menyisakan banyak pertanyaan serius yang perlu juga dijawab melalui penelitian sebanding. Jika masyarakat atau negara Muslim korup dan represif, apakah kesalahan ini lebih disebabkan oleh perilaku masyarakat ataukah pada sistem pemerintahannya? Atau akibat sistem dan kultur pendidikan Islam yang salah? Namun, satu hal yang pasti, penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku sosial, ekonomi, dan politik negara-negara anggota OKI Justru bergerak lebih jauh dari ajaran Islam di bandingkan negara-negara non-Muslim yang perilakunya lebih Islami.

Semarak Dakwah dan Ritual

Hasil penelitian ini juga menyisakan pertanyaan besar dan mendasar: “mengapa semarak dakwah dan ritual keagamaan di Indonesia tak mampu mengubah perilaku sosial dan birokrasi sebagaimana yang diajarkan Islam, yang justru dipraktikkan di negara-negara sekuler?

Tampaknya keberagaman kita lebih senang di level dan semarak ritual untuk mengejar kesalehan individual, tetapi menyepelekan kesalehan sosial. Kalau semua orang Muslim sudah melaksanakan lima rukun Islam-syahadat, shalat, puasa, zakat, haji-dia sudah merasa sempurna. Semakin sering berhaji, semakin sempurna dan hebatlah keislamannya. Pada hal misi Rasulullah itu datang untuk membangun peradaban yang memiliki tiga pilar utama: keilmuan, ketakwaan, dan akhlak mulia atau integritas. Hal yang terakhir inilah, menurut penelitian Rahmen dan Askari, dunia Islam mengalami krisis.

Sekali lagi, kita boleh setuju atau menolak hasil penelitian ini dengan cara melakukan penelitian tandingan. Jadi, jika ada pertanyaan: How Islamic are Islamic Political Parties?. Menarik juga dilakukan penelitian dengan terlebih dahulu membuat indikator atau standar berdasarkan Al-Quran dan Hadis. Lalu, diproyeksikan juga menakar keberislaman perilaku partai-partai yang mengusung simbol dan semangat agama dan perilaku sosialnya.

Oleh, Komarudin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)
Kompas, Sabtu 05 November 2011|Opini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar